Prospek Hubungan Bilateral Iran-AS: Change We don’t believe in

06.36 by mr.ibent

Naiknya figur Barrack Obama sebagai presiden Amerika Serikat, membawa menstimulir munculnya harapan membaiknya hubungan bilateral Iran-AS. Slogan Change we believe yang didengungkan oleh Obama berikut partai Demokrat dan para pendukungnya, seolah-olah menjadi angin segar akan prospek positif kedepan bagi kawasan Timur Tengah, khususnya Negara pewaris peradaban Persia Kuno ini. Belum lagi, statement Obama menjelang victory speech yang disampaikan di Chicago pada tanggal 4 November 2008 lalu menyatakan bahwa:

“And to all those watching tonight from beyond our shores, from parliaments and palaces to those who are huddled around radios in the forgotten corners of the world - our stories are singular, but our destiny is shared, and a new dawn of American leadership is at hand.

To those who would tear the world down - we will defeat you. To those who seek peace and security - we support you…And to all those who have wondered if America’s beacon still burns as bright - tonight we proved once more that the true strength of our nation comes not from the might of our arms or the scale of our wealth, but from the enduring power of our ideals: democracy, liberty, opportunity and unyielding hope.

For that is the true genius of America - that America can change-. Our union can be perfected. And what we have already achieved gives us hope for what we can and must achieve tomorrow”

Setelah kurang lebih tiga puluh (30) tahun hubungan Iran-AS mengalami masa suram, menarik halnya untuk melihat perubahan apa yang akan muncul dengan kenaikan Obama. Tulisan singkat hendak menjawab dua pertanyaan dasar yakni; pertama, sejauh mana sebenarnya prospek hubungan Iran-AS paska kenaikan Barrack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat? Kedua, kendala apa saja yang akan menjadi batu sandungan bagi perbaikan hubungan bilateral kedua belah Negara tersebut?

Masa Kelam Iran-AS

Sejak Revolusi Islam di Iran tahun 1979, Amerika Serikat menarik diri menjalin hubungan diplomasi dengan Iran. Rezim Reza Fahlevi yang pro terhadap AS didepak dari pemerintahan, dan kemudian merubah Iran menjadi sebuah Negara agama, menerapkan ajaran-ajaran Islam sebagai dasar dalam pemerintahan dan tata Negara. Kedutaan besar AS di Tehran pun di tutup paksa dan diusir keluar dari tanah Persia.

Meletusnya Peran Iran-Irak pada September 1980 hingga Agustus 1988, semakin memperuncing ketidakharmonisan hubugan Iran-AS. Lepas dari latar belakang perseteruan perbatasan antara Irak-Iran, campur tangan Amerika Serikat yang terang-terangan mendukung rezim Saddam Hussein membuat pemerintahan Iran geram. Meski telah memperoleh resolusi damai dari PBB, keberpihakan internasional terhadap Irak lebih besar dibanding Iran. Dapat dikatakan Iran mengalami isolasi dari dunia internasional akibat revolusi Islam tahun 1979, yang dimotori oleh Amerika Serikat.

Hubugan kedua belah Negara ini sempat mengalami sedikit perbaikan ketika pada akhir tahun 2001 dan 2002, Amerika melancarkan serangan terhadap Taliban di Afghanistan. Akan tetapi kontrak perjanjian yang ada antara kedua belah piha pudar seketika saat Presiden Bush menyatakan Iran sebagai salah satu dari ‘Axil of Evil’ (Poros Setan).

Yang lebih menyakitkan lagi kemudian adalah provokasi Amerika Serika akan kepemilikan Nuklir Iran. Program penyataan uranium yang menjadi sasaran kambing hitam. AS menuding Iran hendak menciptakan kegalauan baru di Timur Tengah.

Sebuah Harapan

Pada hari Jum’at tanggal 6 Maret 209 lalu, Presiden Obama menawarkan sebuah ‘era baru’ (the new beginning) bagi hubungan bilateral kedua belah Negara. Dalam sebuah pidato singkat, Obama menyatakan akan berusaha berkomunikasi dengan para pemimipin Iran berikut penduduk Iran demi mencipta sebuah perbaikan bilateral. Hal ini jelas mengejutkan dunia, khususnya Iran sendiri yang selama 30 tahun mengalami embargo ekonomi oleh adikuasa tersebut.

Menyusul tawaran Obama, Presiden Ahmady Nedjad menyatakan siap untuk berunding dengan Amerika Serikat. Hal ini dia sampaikan dalam sebuah pidato sambutan dalam peringatan Revolusi Islam Iran ke-30 pada tanggal 12 February 2009 di Tehran. Lebih lanjut lagi, Menteri Luar Negeri Iran Manoucher Motakki mengaffirmasi itikad tersebut dengan menekankan perlunya sebuah ‘dialog yang fair’ antara kedua belah Nega

Read More......

Posted in | 0 Comments